Wajah keriput, uban pun mulai memenuhi seluruh rambutnya,
hingga kesehatan hari demi hari semakin menurun.
Ketika melihat orang tua seperti itu ditelantarkan selalu
terbayang sama Ayahku di rumah. Setiap harinya dia banting tulang demi
menyekolahkanku agar menjadi orang sukses dan bisa berjejer dengan para orang
kaya.
Sederhana, mungkin kata itu cukup untuk menggambarkan
kehidupan keluarga yang sudah membesarkanku seperti ini. Walaupun makan dengan
ikan asin yang dibeli dengan harga murah, sudah bisa mengisi perutku setiap
hari.
“Ayah, boleh aku bantu beresin perabotannya?” tanyaku.
Ayah hanya menatapku dengan penuh kasih sayang, senyumannya
seakan menghipnotisku dan mungkin aku tidak akan melupakannya.
“Emang tidak capek baru pulang sekolah, kan? Lebih baik
istirahat sambil belajar agar bisa meraih cita-cita.”
Aku hanya terdiam dan menundukkan kepala.
“Tapi,”
“Sudah, Ardi belajar saja! Biar Ayah yang membereskan
perabotan ini,” pintanya padaku
“Baik, Ardi akan belajar.” Jawabku
Ayah kembali membereskan perabotan untuk besok berjualan,
walaupun tidak banyak jumlahnya namun bisa cukup untuk membiayai aku sekolah
dan makan.
Raut wajahnya mulai terlihat lelah, kusuguhi air teh manis
hangat dan goreng singkong.
“Ayah, ini singkong dan air teh manisnya.” Ucapku sambil
menyimpan keduanya di meja.
Kulihat Ayah terus menyusun perabotan, memasukkannya satu per
satu ke dalam wadah yang terbuat dari bambu dan kayu.
“Ayah, kenapa perabotannya disusun seperti itu?” tanyaku
dengan polosnya.
“Agar nanti ketika pembeli tidak pusing mencari-cari barang
yang diinginkannya,” jawab Ayah.
“Nanti kalau Ardi sudah dewasa ingin menjadi pedagang seperti
Ayah?” kataku pada Ayah.
Ayah pun terdiam sejenak, dan melepaskan perabotan yang
dipegangnya itu. Dia pun duduk di kursi sambil meminum air teh manis yang telah
aku sajikan sejak tadi.
“Ardi, sini duduk di samping Ayah!” pinta Ayah padaku
“Ada apa, Ayah?” tanyaku penasaran, seraya menghampirinya.
“Nak, Ayah bukannya tidak boleh kamu berjualan atau apalah
itu. Namun, apakah kamu tidak kecewa dan menyesal?” ucap Ayah dengan nada
serius.
“Kecewa kenapa? Kan Ardi tidak bersalah,” sahutku dengan
polosnya.
“Ayah ingin kamu menjadi orang sukses, bisa mendapatkan ilmu
yang bermanfaat dan berguna bagi orang lain. Bukan seperti Ayahmu ini setiap
hari berkeliling menjajakan perabotan dari kampung ke kampung hanya untuk
mendapatkan sepeser rupiah demi mencukupi kebutuhan. Ingat, kamu boleh menjadi
pedagang namun harus mempunyai ilmunya dahulu, jangan ikut-ikutan orang.”
Aku hanya menganggukkan kepala seraya memakan singkong
goreng.
Canda dan tawa selalu menghiasi kebersamaanku bersama Ayah
sepanjang waktu.
“Ayah, apakah Ardi bisa sekolah tinggi seperti orang lain?”
“Bisa! Selama Ayah masih ada kamu pasti bisa sekolah setinggi
mungkin,”
“Benerkan,Yah?”
“Iya, kapan Ayah bohong sama Ardi,”
“Asikkk … akhirnya aku bisa sekolah tinggi dan menjadi
seorang Profesor.” Teriakku penuh kegembiraan.
Ayah hanya menatapku dengan keharuan dan sesekali melemparkan
sebuah senyuman agar aku gembira.
…..
Sudah sejak obrolan itu, aku tidak berjumpa dengan Ayah.
Mungkin sekarang dia
menungguku di rumah dengan penuh harap.
Semenjak lulus SD, aku melanjutkan SLTP sampai Kuliah di kota
bersama Kakak Ayah. Walaupun hati selalu menolak, tapi demi perintah Ayah aku
berangkat pada waktu itu.
Kini, rindu akan senyuman yang selalu terlontar padaku sulit
dihilangkan. Pikiranku begitu kacau ketika tahu bahwa Ayah sakit, dan di rumah
hanya ada saudara yang merawatnya.
“Asalamu’alaikum, Ayah! Gimana kabarnya? Ardi kangen sama
Ayah,” ucapku, cucuran air mata tidak tertahankan lagi.
“Wa’alaikum salam, kabar Ayah baik-baik saja. Ardi gimana
kabarnya, sehatkan?” sahut aya di sebrang sana.
“Baik, Ayah besok Ardi pulang,” kataku
“kenapa kamu pulang? Apakah kekurangan biaya?” Tanya Ayah.
“Bukan, Ardi hanya ingin menjaga Ayah,”
“Ayah baik-baik saja, Di. Kamu tidak usah pulang, selesaikan
dahulu kuliahmu!”
Air mata semakin tidak tertahan lagi, mengalir deras
membasahi pipiku.
“Iya, Ardi tidak akan pulang. Asal Ayah di sana baik-baik
saja.” Pintaku
“Ayah baik-baik saja, kamu jangan mengkuatirkan.” Ucap Ayah
di sebrang sana.
“Yasudah, Ardi mau keluar dulu. Nanti ditelepon lagi.
Asalamu’alaikum,” kataku pada Ayah di sebrang sana.
“Jaga diri baik-baik, kalau ada sesuatu hubungi Ayah.
Wasalamu’alaikum.”
Telepon aku matikan, namun air mata dan kegelisahan tidak
bisa berhenti.
“Besok aku harus pulang, dan membawakan hadiah yang
diinginkan Ayah.” Ketusku.
.....
Keesokan harinya aku berangkat menaiki bus menuju
kampung Jati Waringin.
Hati terus berdebar, seraya membayangkan raut wajah dan
senyuman Ayah yang terus bergelayut dipikiranku.
Dua jam sudah menempuh perjalanan jauh, akhirnya tiba di
Kampung Jati Waringin, tempat kelahiranku.
Kulihat rumah tua yang sudah dimakan usia berdiri diantara bangunan
megah. Mata ini tertuju pada sesorang yang duduk di pelataran rumah, sembari
membuat anyaman bambu.
“Ayah … Ayah … Ayah …!” teriakku keras.
Aku berlari sekuat tenaga menghampirinya, agar bisa
cepat-cepat memeluk erat dan mencium wajahnya yang keriput.
“Ardi, kenapa kamu pulang? Kan sudah Ayah bilang jangan
pulang.” Ucap Ayah padakku.
“Ayah, apakah seorang anak tidak boleh bertemu dengan orang
yang sudah membesarkannya? Ardi kangen sama Ayah sudah 10 tahun lebih kita tidak bertemu dan bercanda gurau
dengan Ayah.” Kataku pada Ayah.
Melepas rindu yang sudah lama terbenam dalam hati kini, aku
keluarkan dengan tangisan dan kegembiraan.
Sekarang aku bisa becanda gurau dengan Ayah tanpa ada
penghalang yang memisahkan kita berdua.
….
“Mas … Mas, ayo bangun sudah subuh.” Terdengar sayup-sayup
seseorang yang membangunkanku.
Perlahan-lahan mataku terbuka, dan terlihat sosok wanita
cantik dihadapanku sembari melontarkan senyuman yang begitu manis.
“Mas, ayo kita salat subuh berjamaah. Anak-anak sudah pada
menunggu!” ucap wanita tersebut.
Aku sedikit terdiam, dan bingung atas apa yang telah terjadi.
“Astagfirullah, ternyata tadi Cuma mimpi saja.” Ketusku.
Aku beranjak dari tempat tidur dan segera pergi ke kamar
mandi untuk mengambil air wudhu.
…
Setelah selesai salat, aku menceritakan tentang mimpi
tersebut pada istri.
“Mas, apakah dahulu pernah menjanjikan sesuatu pada Ayah?”
Tanya istriku.
“Aku dahulu pernah menjanjikan rumah mewah pada Ayah. Agar
beliau bisa beristirahat dengan nyaman dan tidak perlu kehujanan lagi,”
jawabku.
“Makam Ayah belum kita apa-apain, Mas. Mungkinkah ini isyarat
mendiang Ayahmu untuk segera membuat rumah untuknya,”
“Besok kita pergi ke kampung, agar bisa membuatkan rumah
untuk Ayah.” Kataku pada istri.
….
Setelah mimpi itu aku segera membeli peralatan dan menyuruh
pekerja untuk membuatkan rumah yang indah. Walaupun rumah itu sederhana, hanya
sebuah susunan keramik. Namun, aku ingin memenuhi janji pada mendiang Ayah.
Terlihat gundukan tanah yang sudah lama, penuh dengan rumput
menyelimutinya.
“Ayah, maafkan aku karena sudah lama melupakanmu. Aku anak
yang tidak berguna, hingga lupa dengan orang tuanya sendiri.”
Rumah untuk Ayah sudah dibangun dengan sangat indah, hati ini
tenang dan damai.
Namun, pikiranku selalu terbayang raut wajah dan senyumannya
yang membuatku sulit melupakannya.
“Ayah, aku sangat merindukanmu. Semoga anakmu ini menjadi
seorang Ayah bagi cucumu.”