Rabu, 02 Maret 2016

RUMAH UNTUK AYAH






Wajah keriput, uban pun mulai memenuhi seluruh rambutnya, hingga kesehatan hari demi hari semakin menurun.
Ketika melihat orang tua seperti itu ditelantarkan selalu terbayang sama Ayahku di rumah. Setiap harinya dia banting tulang demi menyekolahkanku agar menjadi orang sukses dan bisa berjejer dengan para orang kaya.
Sederhana, mungkin kata itu cukup untuk menggambarkan kehidupan keluarga yang sudah membesarkanku seperti ini. Walaupun makan dengan ikan asin yang dibeli dengan harga murah, sudah bisa mengisi perutku setiap hari.
“Ayah, boleh aku bantu beresin perabotannya?” tanyaku.
Ayah hanya menatapku dengan penuh kasih sayang, senyumannya seakan menghipnotisku dan mungkin aku tidak akan melupakannya.
“Emang tidak capek baru pulang sekolah, kan? Lebih baik istirahat sambil belajar agar bisa meraih cita-cita.”
Aku hanya terdiam dan menundukkan kepala.
“Tapi,”
“Sudah, Ardi belajar saja! Biar Ayah yang membereskan perabotan ini,” pintanya padaku
“Baik, Ardi akan belajar.” Jawabku
Ayah kembali membereskan perabotan untuk besok berjualan, walaupun tidak banyak jumlahnya namun bisa cukup untuk membiayai aku sekolah dan makan.
Raut wajahnya mulai terlihat lelah, kusuguhi air teh manis hangat dan goreng singkong.
“Ayah, ini singkong dan air teh manisnya.” Ucapku sambil menyimpan keduanya di meja.
Kulihat Ayah terus menyusun perabotan, memasukkannya satu per satu ke dalam wadah yang terbuat dari bambu dan kayu.
“Ayah, kenapa perabotannya disusun seperti itu?” tanyaku dengan polosnya.
“Agar nanti ketika pembeli tidak pusing mencari-cari barang yang diinginkannya,” jawab Ayah.
“Nanti kalau Ardi sudah dewasa ingin menjadi pedagang seperti Ayah?” kataku pada Ayah.
Ayah pun terdiam sejenak, dan melepaskan perabotan yang dipegangnya itu. Dia pun duduk di kursi sambil meminum air teh manis yang telah aku sajikan sejak tadi.
“Ardi, sini duduk di samping Ayah!” pinta Ayah padaku
“Ada apa, Ayah?” tanyaku penasaran, seraya menghampirinya.
“Nak, Ayah bukannya tidak boleh kamu berjualan atau apalah itu. Namun, apakah kamu tidak kecewa dan menyesal?” ucap Ayah dengan nada serius.
“Kecewa kenapa? Kan Ardi tidak bersalah,” sahutku dengan polosnya.
“Ayah ingin kamu menjadi orang sukses, bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan berguna bagi orang lain. Bukan seperti Ayahmu ini setiap hari berkeliling menjajakan perabotan dari kampung ke kampung hanya untuk mendapatkan sepeser rupiah demi mencukupi kebutuhan. Ingat, kamu boleh menjadi pedagang namun harus mempunyai ilmunya dahulu, jangan ikut-ikutan orang.”
Aku hanya menganggukkan kepala seraya memakan singkong goreng.
Canda dan tawa selalu menghiasi kebersamaanku bersama Ayah sepanjang waktu.
“Ayah, apakah Ardi bisa sekolah tinggi seperti orang lain?”
“Bisa! Selama Ayah masih ada kamu pasti bisa sekolah setinggi mungkin,”
“Benerkan,Yah?”
“Iya, kapan Ayah bohong sama Ardi,”
“Asikkk … akhirnya aku bisa sekolah tinggi dan menjadi seorang Profesor.” Teriakku penuh kegembiraan.
Ayah hanya menatapku dengan keharuan dan sesekali melemparkan sebuah senyuman agar aku gembira.
…..
Sudah sejak obrolan itu, aku tidak berjumpa dengan Ayah.
Mungkin sekarang  dia menungguku di rumah dengan penuh harap.
Semenjak lulus SD, aku melanjutkan SLTP sampai Kuliah di kota bersama Kakak Ayah. Walaupun hati selalu menolak, tapi demi perintah Ayah aku berangkat pada waktu itu.
Kini, rindu akan senyuman yang selalu terlontar padaku sulit dihilangkan. Pikiranku begitu kacau ketika tahu bahwa Ayah sakit, dan di rumah hanya ada saudara yang merawatnya.
“Asalamu’alaikum, Ayah! Gimana kabarnya? Ardi kangen sama Ayah,” ucapku, cucuran air mata tidak tertahankan lagi.
“Wa’alaikum salam, kabar Ayah baik-baik saja. Ardi gimana kabarnya, sehatkan?” sahut aya di sebrang sana.
“Baik, Ayah besok Ardi pulang,” kataku
“kenapa kamu pulang? Apakah kekurangan biaya?” Tanya Ayah.
“Bukan, Ardi hanya ingin menjaga Ayah,”
“Ayah baik-baik saja, Di. Kamu tidak usah pulang, selesaikan dahulu kuliahmu!”
Air mata semakin tidak tertahan lagi, mengalir deras membasahi pipiku.
“Iya, Ardi tidak akan pulang. Asal Ayah di sana baik-baik saja.” Pintaku
“Ayah baik-baik saja, kamu jangan mengkuatirkan.” Ucap Ayah di sebrang sana.
“Yasudah, Ardi mau keluar dulu. Nanti ditelepon lagi. Asalamu’alaikum,” kataku pada Ayah di sebrang sana.
“Jaga diri baik-baik, kalau ada sesuatu hubungi Ayah. Wasalamu’alaikum.”
Telepon aku matikan, namun air mata dan kegelisahan tidak bisa berhenti.
“Besok aku harus pulang, dan membawakan hadiah yang diinginkan Ayah.” Ketusku.
.....
Keesokan harinya aku berangkat menaiki bus menuju kampung  Jati Waringin.
Hati terus berdebar, seraya membayangkan raut wajah dan senyuman Ayah yang terus bergelayut dipikiranku.
Dua jam sudah menempuh perjalanan jauh, akhirnya tiba di Kampung Jati Waringin, tempat kelahiranku.
Kulihat rumah tua yang sudah dimakan usia berdiri diantara bangunan megah. Mata ini tertuju pada sesorang yang duduk di pelataran rumah, sembari membuat anyaman bambu.
“Ayah … Ayah … Ayah …!” teriakku keras.
Aku berlari sekuat tenaga menghampirinya, agar bisa cepat-cepat memeluk erat dan mencium wajahnya yang keriput.
“Ardi, kenapa kamu pulang? Kan sudah Ayah bilang jangan pulang.” Ucap Ayah padakku.
“Ayah, apakah seorang anak tidak boleh bertemu dengan orang yang sudah membesarkannya? Ardi kangen sama Ayah sudah 10 tahun  lebih kita tidak bertemu dan bercanda gurau dengan Ayah.” Kataku pada Ayah.
Melepas rindu yang sudah lama terbenam dalam hati kini, aku keluarkan dengan tangisan dan kegembiraan.
Sekarang aku bisa becanda gurau dengan Ayah tanpa ada penghalang yang memisahkan kita berdua.
….
“Mas … Mas, ayo bangun sudah subuh.” Terdengar sayup-sayup seseorang yang membangunkanku.
Perlahan-lahan mataku terbuka, dan terlihat sosok wanita cantik dihadapanku sembari melontarkan senyuman yang begitu manis.
“Mas, ayo kita salat subuh berjamaah. Anak-anak sudah pada menunggu!” ucap wanita tersebut.
Aku sedikit terdiam, dan bingung atas apa yang telah terjadi.
“Astagfirullah, ternyata tadi Cuma mimpi saja.” Ketusku.
Aku beranjak dari tempat tidur dan segera pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Setelah selesai salat, aku menceritakan tentang mimpi tersebut pada istri.
“Mas, apakah dahulu pernah menjanjikan sesuatu pada Ayah?” Tanya istriku.
“Aku dahulu pernah menjanjikan rumah mewah pada Ayah. Agar beliau bisa beristirahat dengan nyaman dan tidak perlu kehujanan lagi,” jawabku.
“Makam Ayah belum kita apa-apain, Mas. Mungkinkah ini isyarat mendiang Ayahmu untuk segera membuat rumah untuknya,”
“Besok kita pergi ke kampung, agar bisa membuatkan rumah untuk Ayah.” Kataku pada istri.
….
Setelah mimpi itu aku segera membeli peralatan dan menyuruh pekerja untuk membuatkan rumah yang indah. Walaupun rumah itu sederhana, hanya sebuah susunan keramik. Namun, aku ingin memenuhi janji pada mendiang Ayah.
Terlihat gundukan tanah yang sudah lama, penuh dengan rumput menyelimutinya.
“Ayah, maafkan aku karena sudah lama melupakanmu. Aku anak yang tidak berguna, hingga lupa dengan orang tuanya sendiri.”
Rumah untuk Ayah sudah dibangun dengan sangat indah, hati ini tenang dan damai.
Namun, pikiranku selalu terbayang raut wajah dan senyumannya yang membuatku sulit melupakannya.
“Ayah, aku sangat merindukanmu. Semoga anakmu ini menjadi seorang Ayah bagi cucumu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar