Dear Diary,
Sebuah pengalaman yang belum dialami selama ini.
Gugup, mulut ini sulit untuk berkata-kata, dan mata tidak terpejam.
Pikiranku terus melayang, membayangkan apa yang
telah kutemui. Seorang lelaki tampan telah memikat hatiku yang lemah ini.
Degup jantung terus berdetak semakin kencang. Entah
setan mana yang sudah masuk ke dalam diriku.
Tapi, itu adalahsebuah pengalamanku hari ini di
sekolah. Tidak ada yang terlewatkan semuanya teremak dalam memoriku.
''Hmmzz ... siapaya, Dia? Rasanya hati ini tidak
bias lepas dari raut wajahnya yang tampan rupawan,''
Hayalanku kembali memasuki suatu peristiwa yang
terjadi di sekolah.
''Apakah dia mau sama aku? Dengan keadaanku saat ini,
banyak lelaki yang menghindari.''
''Dinda ...,'' teriak seseorang di balik pintu kamarku.
''Iya, tunggu sebentar.'' Jawabku dengan sigap.
Aku pun menghampiri pintu dan membukanya.
''Dinda, kamu sudah makan belum? Mamah liat dari tadi
kamu di kamar terus, ada apa, Dinda?'' Tanya Mamah padaku dengan nada cemas.
''Dinda tidak kenapa-napa, Mah,''
''Terus kalau tidak kenapa-napa, Dinda malah diam
di kamar? Obatnya sudah diminum belum?''
''Kalau soal itu rahasia, Mah. Obat belum Dinda minum,
habisnya lupa,''
''Ayo cepat minum, nanti sakit kamu kambuh lagi,''
''Iya, Mah!''
''Tunggu di sini, Mamah mau ambil obat dan airnya dulu.''
pintaMamah padaku.
Mamah pun pergi dari kamarku untuk mengambil obat dan air minum.
Sebenarnya aku sudah muak dengan obat-obatan, dari
yang terbesar sampai terkecil sudah aku minum.
Namun apa daya, kalau aku telat minum obat pasti sakitnya
akan kambuh lagi.
Bahkan tangan dan anggota tubuhku yang lain sulit untuk
digerakan.
Saraf-saraf kadang
sakit, menelanpun susah, penglihatanku sering kabur ketika penyakitnya kambuh.
Hati kecil ini selalu berkhayal, kapan aku bisa seperti
mereka, melakukan segala aktivitas tanpa mengganggu kesehatan.
Namun impian itu hanya sebuah dongeng sebelum tidur,
yang selalu dibacakan oleh Mamah semasa kecil dulu.
Mungkin, Tuhan sengaja memberikanku cobaan seperti ini.
Agar dia bias mengetahui seberapa besar kesabaran dan ketaatanku pada-Nya.
Sampai detik ini, belum ada dokter yang bisa menyembuhkan
penyakitku.
Suara langkah kaki terdengarbegitukeras, mengarah kekamarku.
''Dinda, ayominum obatnya!'' pinta Mamah dengan penuh
kasih sayang.
''Iya, Mah. Dinda akan minum kok, supaya nanti bias
bermain seperti remaja pada umumnya, kan, Mah?'' ucapku pada Mamah.
Terlihat, bulir-bulir air mata mengalir dari sela-sela
membasahi wajahnya yang sangat indah.
Raut senyuman selalu tersungging untukku, agar
kubisa semangat dalam menghadapi penyakit ini.
''Mah, kenapa menangis? Dinda salah apa, Mah?''
tanyaku dengan nada sedih.
Mamah hanya terdiam mendengar pertanyaan yang
keluar dari mulutku.
''Mamah tidak sedih, Sayang,'' jawabnya.
''Pasti ada yang disembunyikan olehMamah pada, Dinda? Ayo, Mah,!Dindakan sudah besar dan
bukan anak kecil lagi,'' ungkapku pada Mamah agar mengelurkan semua uneg-uneg yang ada dipikiranyya.
''Dinda sayang, Mamah tidak kenapa-napa, kok.
Mungkin Mamah kelilipan debu yang berterbangan dikamarmu,''
Aku masih tidak percaya ucapan Mamah. Karena dalam pikirannya
pasti ada sesuatu yang disembunyikan.
''Yasudah, kalau Mamah lelah
istirahat, ya! Nanti Mamah sakit,'' ucapku pada Mamah.
''Nanti aja dulu Mamah istirahatnya, pengen menemani
Dinda, boleh tidak?'' Tanya Mamah padaku.
''Iya, boleh dong, Mah.'' jawabku.
Kulihat rambutnya sudah mulai ditumbuhi uban,
walaupun usianya masih muda.
Mungkin, Mamah selalu memikirkan diriku yang tidak
bias membantunya dalam berbagai hal.
Apalagi kalau membantu angkat-angkat barang yang
sangat berat, bisa-bisa penyakitku kambuh lagi akibat kecapean habis bekerja.
Makanya Mamah selalu mengawasiku setiap waktu ketika,
berada di rumah. Tetapi, Mamah tidak mengekangku bahwa tidak boleh melakukan apapun.
Obat-obat yang dari dokter masih aku pegang dan belum
diminum.
Kini, satu persatu obati tumasuk ke dalam mulutku penuh
harapan dan sebuah keajaiban agar aku bias kembali sembuh seperti remaja pada umumnya.
Hanya doa yang selalu aku panjatkan, bukan berarti kumenyesali
semua kehendak Tuhan.
''Mah, andai saja Dinda bisa membahagiakan Mamah seperti
anak-anak lain yang selalu membahagiakan orang tuanya. Dinda ingin bisa membahagiakan Mamah
dan membuat Mamah selalu tersenyum,'' ungkapku dengan berlinang air mata.
''Dinda, dengan kamu berada di sini, Mamah sudah bangga.
Karena tidak semua anak bias berada di samping orang tuanya.'' Ucap Mamah padaku.
Kami berdua hanya terdiam setelah apa yang tadi banyak aku tanyakan pada Mamah.
''Iya, Dinda berjanji akan ada di samping Mamah dan
merawat Mamah sebagaimana Dinda dirawat dulu.'' kataku.
Kupeluk erat Mamah, dan air mata kami berdua tidak terhindarkan
lagi, seperti halnya banjir yang menjebol tanggul.
Di situlah aku tetap tegar dan berusaha melawan penyakit
yang sudah lama berada dan entah kapan akan
hilangnya. Mungkin sampai ajal kutiba atau bahkan esok lusa, entahlah dalam pikiranku
yang bergelayut saat ini adalah bagaimana cara membuat mereka tersenyum bahagia,
saat melihat aku sukses dan bias melawan penyakit ini.
“Mah, jika esok Dinda dipanggil Tuhan, apakah Mama akan tetap sayang?” Ah, kata itu keluar dari
mulut ini, aku takut Mamah menjadi gelisah dan sedih ketika berbicara seperti itu.
“Dinda sayang, Tuhan akan bersama orang-orang
tangguh sepertimu ini, janganlah engkau berputus asa atau punterus-terusan memenjarakan ragamu. Biarkanlah bebas, agar kamu tetap sehat
dan bisa ceria seperti teman-temanmu tanpa harus mengkonsumsi ribuan pil untuk menyambung
hidupmu. Mamah yakin, bahwa Tuhan tidak akan membiarkanmu terusterpuruk Dia akan
memberikan obat untukmu.” Ujar Mamah memberikanku semangat.
Aku hanya terdiam, dan tidak bisa berkata apa-apa saat
Mamah memberikanku sebuah motivasi. Mungkin, aku tidak seberuntung orang-orang
yang bisa bermain atau bercanda gurau dengan bebas.
Iya, tubuh ini membutuhkan banyak istirahat dibandingkan
harus mengeluarkan beribu-ribu butir keringat yang keluar dari pori-poriku, yang akhirnya Rumah
Sakit menjadi sasaran tempat beristirahat karena kelelahan.
Aku masih terdiam, memikirkan ucapan Mamah agar
kedepannya tidak salah melangkah dalam mengambil sebuah impian yang sudah lama didambakan.
“Mah, Dinda akan tetap tegar dan berusaha untuk melawan penyakit ini,
walaupun lelah terus mendera. Namun,
semangat untuk kembali seperti anak-anak pada umumnya,” Jawabku, kupelukerat Mamah.
“Kamu pasti bisa, Mamah yakin,”
“Iya, Dinda pasti bisa melewati semua ini, Mah,”
Waktu pun tidak terasa semakin cepatnya berlalu,
ketika segala kelu-kesah tercurah dengan perasaan yang begitu gembira.
---- BERSAMBUNG