Jumat, 21 Oktober 2016

Impian



Dear Diary,

Sebuah pengalaman yang belum dialami selama ini. Gugup, mulut ini sulit untuk berkata-kata, dan mata tidak terpejam.
Pikiranku terus melayang, membayangkan apa yang telah kutemui. Seorang lelaki tampan telah memikat hatiku yang lemah ini.
Degup jantung terus berdetak semakin kencang. Entah setan mana yang sudah masuk ke dalam diriku.
Tapi, itu adalahsebuah pengalamanku hari ini di sekolah. Tidak ada yang terlewatkan semuanya teremak dalam memoriku.
''Hmmzz ... siapaya, Dia? Rasanya hati ini tidak bias lepas dari raut wajahnya yang tampan rupawan,''
Hayalanku kembali memasuki suatu peristiwa yang terjadi di sekolah.
''Apakah dia mau sama aku? Dengan keadaanku saat ini, banyak lelaki yang menghindari.''
''Dinda ...,'' teriak seseorang di balik pintu kamarku.
''Iya, tunggu sebentar.'' Jawabku dengan sigap.
Aku pun menghampiri pintu dan membukanya.
''Dinda, kamu sudah makan belum? Mamah liat dari tadi kamu di kamar terus, ada apa, Dinda?'' Tanya Mamah padaku dengan nada cemas.
''Dinda tidak kenapa-napa, Mah,''
''Terus kalau tidak kenapa-napa, Dinda malah diam di kamar? Obatnya sudah diminum belum?''
''Kalau soal itu rahasia, Mah. Obat belum Dinda minum, habisnya lupa,''
''Ayo cepat minum, nanti sakit kamu kambuh lagi,''
''Iya, Mah!''
''Tunggu di sini, Mamah mau ambil obat dan airnya dulu.'' pintaMamah padaku.
Mamah pun pergi dari kamarku untuk  mengambil obat dan air minum.
Sebenarnya aku sudah muak dengan obat-obatan, dari yang terbesar sampai terkecil sudah aku minum.
Namun apa daya, kalau aku telat minum obat pasti sakitnya akan kambuh lagi.
Bahkan tangan dan anggota tubuhku yang lain sulit untuk digerakan.
Saraf-saraf  kadang sakit, menelanpun susah, penglihatanku sering kabur ketika penyakitnya kambuh.
Hati kecil ini selalu berkhayal, kapan aku bisa seperti mereka, melakukan segala aktivitas tanpa mengganggu kesehatan.
Namun impian itu hanya sebuah dongeng sebelum tidur, yang selalu dibacakan oleh Mamah semasa kecil dulu.
Mungkin, Tuhan sengaja memberikanku cobaan seperti ini. Agar dia bias mengetahui seberapa besar kesabaran dan ketaatanku pada-Nya.
Sampai detik ini, belum ada dokter yang bisa menyembuhkan penyakitku.
Suara langkah kaki terdengarbegitukeras, mengarah kekamarku.
''Dinda, ayominum obatnya!'' pinta Mamah dengan penuh kasih sayang.
''Iya, Mah. Dinda akan minum kok, supaya nanti bias bermain seperti remaja pada umumnya, kan, Mah?'' ucapku pada Mamah.
Terlihat, bulir-bulir air mata mengalir dari sela-sela membasahi wajahnya  yang sangat indah.
Raut senyuman selalu tersungging untukku, agar kubisa semangat dalam menghadapi penyakit ini.
''Mah, kenapa menangis? Dinda salah apa, Mah?'' tanyaku dengan nada sedih.
Mamah hanya terdiam mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutku.
''Mamah tidak sedih, Sayang,'' jawabnya.
''Pasti ada yang disembunyikan olehMamah  pada, Dinda? Ayo, Mah,!Dindakan sudah besar dan bukan anak kecil lagi,'' ungkapku pada Mamah agar mengelurkan  semua uneg-uneg yang ada dipikiranyya.                                                       
''Dinda sayang, Mamah tidak kenapa-napa, kok. Mungkin Mamah kelilipan debu yang berterbangan dikamarmu,''
Aku masih tidak percaya ucapan Mamah. Karena dalam pikirannya pasti ada sesuatu yang disembunyikan.
''Yasudah, kalau Mamah  lelah  istirahat, ya! Nanti Mamah sakit,'' ucapku pada Mamah.
''Nanti aja dulu Mamah istirahatnya, pengen menemani Dinda, boleh tidak?'' Tanya Mamah padaku.
''Iya, boleh dong, Mah.'' jawabku.
Kulihat rambutnya sudah mulai ditumbuhi uban, walaupun usianya masih muda.
Mungkin, Mamah selalu memikirkan diriku yang tidak bias membantunya dalam berbagai hal.
Apalagi kalau membantu angkat-angkat barang yang sangat berat, bisa-bisa penyakitku kambuh lagi akibat kecapean habis bekerja.
Makanya Mamah selalu mengawasiku setiap waktu ketika, berada di rumah. Tetapi, Mamah tidak mengekangku bahwa  tidak boleh melakukan apapun.
Obat-obat yang dari dokter masih aku pegang dan belum diminum.
Kini, satu persatu obati tumasuk ke dalam mulutku penuh harapan dan sebuah keajaiban agar aku bias kembali sembuh seperti remaja pada umumnya.
Hanya doa yang selalu aku panjatkan, bukan berarti kumenyesali semua kehendak Tuhan.
''Mah, andai saja Dinda bisa membahagiakan Mamah seperti anak-anak lain yang selalu membahagiakan  orang tuanya. Dinda ingin bisa membahagiakan Mamah dan membuat Mamah selalu tersenyum,'' ungkapku dengan berlinang air mata.
''Dinda, dengan kamu berada di sini, Mamah sudah bangga. Karena tidak semua anak bias berada di samping orang tuanya.'' Ucap Mamah padaku.
Kami berdua hanya terdiam setelah apa yang tadi banyak  aku tanyakan pada Mamah.
''Iya, Dinda berjanji akan ada di samping Mamah dan merawat Mamah sebagaimana Dinda dirawat dulu.'' kataku.
Kupeluk erat Mamah, dan air mata kami berdua tidak terhindarkan lagi, seperti halnya banjir yang menjebol tanggul.
Di situlah aku tetap tegar dan berusaha melawan penyakit  yang sudah lama berada dan entah kapan akan hilangnya. Mungkin sampai ajal kutiba atau bahkan esok lusa, entahlah dalam pikiranku yang bergelayut saat ini adalah bagaimana cara membuat mereka tersenyum bahagia, saat melihat aku sukses dan bias melawan penyakit ini.
“Mah, jika esok Dinda dipanggil Tuhan, apakah  Mama akan tetap sayang?” Ah, kata itu keluar dari mulut ini, aku takut Mamah menjadi gelisah dan sedih ketika berbicara seperti itu.
“Dinda sayang, Tuhan akan bersama orang-orang tangguh sepertimu ini, janganlah engkau berputus asa atau punterus-terusan memenjarakan  ragamu. Biarkanlah bebas, agar kamu tetap sehat dan bisa ceria seperti teman-temanmu tanpa harus mengkonsumsi ribuan pil untuk menyambung hidupmu. Mamah yakin, bahwa Tuhan tidak akan membiarkanmu terusterpuruk Dia akan memberikan obat untukmu.” Ujar Mamah memberikanku semangat.
Aku hanya terdiam, dan tidak bisa berkata apa-apa saat Mamah memberikanku sebuah motivasi. Mungkin, aku tidak seberuntung orang-orang yang bisa bermain atau bercanda gurau dengan bebas.
Iya, tubuh ini membutuhkan banyak istirahat dibandingkan harus mengeluarkan beribu-ribu butir keringat  yang keluar dari pori-poriku, yang akhirnya Rumah Sakit menjadi sasaran tempat beristirahat karena kelelahan.
Aku masih terdiam, memikirkan ucapan Mamah agar kedepannya tidak salah melangkah dalam mengambil sebuah impian yang sudah lama  didambakan.
“Mah, Dinda akan tetap  tegar dan berusaha untuk melawan penyakit ini, walaupun lelah terus  mendera. Namun, semangat untuk kembali seperti anak-anak pada umumnya,” Jawabku, kupelukerat Mamah.
“Kamu pasti bisa, Mamah yakin,”
“Iya, Dinda pasti bisa melewati semua ini, Mah,”
“Pasti sayang, Mamah akan selalu mendoakanmu setiap waktu.” Ujar Mamah.
Waktu pun tidak terasa semakin cepatnya berlalu, ketika segala kelu-kesah tercurah dengan perasaan yang begitu gembira.

---- BERSAMBUNG





1 komentar:

  1. Your Affiliate Profit Machine is waiting -

    Plus, getting it set up is as easy as 1 . 2 . 3!

    Here's how it works...

    STEP 1. Choose affiliate products you want to promote
    STEP 2. Add push button traffic (it LITERALLY takes JUST 2 minutes)
    STEP 3. See how the system grow your list and upsell your affiliate products all on it's own!

    Are you ready to start making money??

    The solution is right here

    BalasHapus