Cerpen Horor
Hiruk pikuk kota membuatku lelah bahkan stres dengan segala macam
kegaduhan dan kebisingan.
Rasanya jiwa ini menginginkan ketenangan, kenyamanan hingga
membuatku gundah-gulana.
"Mungkin aku harus libur?"
Hati ini terus merajuk menginginkan keheningan dan kesejukan. Di
antara tugas-tugas kantor yang begitu menumpuk seakan istirahat saja susah
kudapatkan lagi.
"Non Zahra, tadi bibi menemukan surat ini di depan
pintu," ucap Bibi Rini, sembari menyodorkan amplop itu.
"Terima kasih, Bi." ucapku
Selembar amplop yang terbungkus rapi diberi hiasan pita berwarna
pink seakan membuatku penasaran akan isinya.
Hati ini selalu menebak-nebak apa yang ada dalam surat itu?
"Apa mungkin ini surat dari perusahaan yang bekerjasama
denganku? Atau malah dari seseorang."
Aku hanya bisa menebak tanpa terburu-buru melihat isi suratnya.
Darah ini berdesir mengalir, jantung pun berdegup semakin kencang.
Aku terus meracau dan semakin takut akan membuka surat tersebut.
Bayangan yang selalu terlintas di benakku tentang isi surat tersebut sudah
sangat buruk.
Perlahan-lahan aku memberanikan diri untuk membuka surat tersebut.
Tangan ini bergetar, keringat bercucuran karena tidak biasanya aku
menerina surat seperti ini.
"Zahra, maafkan aku! Mungkin pernikahan yang telah kita
rencanakan tidak akan terjadi. Sekali lagi maafkan aku, Zahra."
Aku langsung terdiam, dan apa yang terbayang benar-benar terjadi.
Surat dari Rio membuatku tidak bisa mengatakan apa-apa.
"Sungguh tega Rio, kau putuskan aku dengan sebegitu mudahnya
di saat pernikahan kita sebentar lagi akan terlaksana." ketus hatiku yang terus meracau.
Pekerjaan yang begitu menumpuk dan masalah pernikahan membuatku
semakin stres saja.
Seminggu setelah menerima surat dari Rio, aku memutuskan untuk
liburan ke Villa yang ada di Bogor. Mungkin dengan berliburan akan
menghilangkan kepenatan dalam bekerja.
Semua barang aku kemas dan siap untuk berangkat ke
bogor agar bisa menghilangkan stress selama berada di kota Jakarta.
Villa pemberian dari Nenek membuatku bahagia, karena
bisa berlibur tanpa perlu mengeluarkan budget yang cukup besar.
“Kalau aku sendiri mungkin sepi, coba ajak Sila
mungkin dia mau,”ketusku dalam hati.
Kuambil hp dan dengan cepat mencari nama Sila di
kontak hp. Tidak lama kemudian, aku mulai menghubungi Sila.
“Nomor yang anda tuju sedang di luar service area,
silakan coba beberapa saat lagi.”
Yang aku dapat hanya jawaban dari pihak operator.
“Kenapa hp-nya mati seperti tidak biasa? Apa mungkin
Sila sudah tahu kalau aku akan pergi ke Villa?”
Rasa kesal dan marah terus berkecamuk dalam hati, adik
yang selalu menjadi teman di kala sedih pun gembira.
“Ah, mungkin dia sedang bersama teman-temannya.”
Aku memutuskan untuk pergi sendiri, sembari kekesalan
dan amarah menghantuiku. Semua perlengkapan sudah komplit, Mang Yaman pun siap
menghantarkanku menuju Villa yang ada di Bogor.
“Non, apa tidak takut sendirian di Villa?” tanya Mang
Yaman.
“Tidak, Mang. Di sana juga ada pembantu, cuman mereka
kerjanya hanya sampai sore saja,” jawabku mencairkan suasana.
“Berarti Non Zahra sendirian malamnya?” tanya Mang
Yaman.
“Iya, tapi nanti aku hubungi Sila, Mang. Biar ada
teman mengobrol gitu,” jawabku lagi, sembari kesal dan agak curiga. “Ada apa,
Mang? Kok bertanya aneh begitu?” tanyaku pada Mang Yaman.
“Enggak, Non. Mamang cuman khawatir saja kalau Non
Zahra kenapa-napa nantinya,” ucap Mang Yaman.
“Oh ….”
Mobil melaju sangat cepat, Puncak Bogor tidak seperti
biasanya macet merayap. Jadi, kami sampai di Villa tidak memakan waktu
berjam-jam yang membuat pikiran dipenuhi emosi karena macet.
Sesampainya di Villa yang begitu besar dan luas, aku
disambut oleh dua orang penjaga. Mbok Ranum dan Pak Komod, suami istri yang
menjaga Villa Nenekku.
“Eh, Non Zahra. Apa kabar?” tanya mereka dengan
melontarkan senyuman padaku.
“Kabar baik, Mbok, Pak. Oiya, Ibu suka ke sini?”
ucapku pada mereka.
“Tidak ada tuh, Non. Emangnya kenapa?” jawab Pak
Komod.
“Aku hanya ingin tahu saja, Pak. Jadi, Villa ini
setelah Nenek meninggal hanya aku yang sering ke sini?” ujarku sembari beranjak
masuk ke dalam.
“Iya, Non.” Jawab Mbok Ranum.
“Pak, hati-hati
bawa kopernya!”
“Baik, Non.”
Perlahan-lahan kaki ini melangkah masuk ke dalam Villa
yang begitu mewah dan megah tersebut.
Pikiran ini seakan terbawa hanyut oleh suasana asri
dan indah, serta tidak ada lagi kebisingan yang dapat menggangguku lagi.
Kuberanjak ke kamar untuk beristirahat melepas segala
penat yang mencoba menerkam seluruh jiwa dan ragaku.
“Non, mau disiapkan makan apa nanti malam?” tanya Mbok
Ranum.
“Seperti biasa, Mbok,” jawabku.
“Baik, Non.”
Aku mulai merebahkan diri di atas kasur yang empuk dan
nyaman ini. Udara yang segar dan alami memasuki saluran pernafasanku, seakan
hendak melenyapkan asap-asap polusi dalam tubuh.
“Coba kalau tempat kerjaku nyaman seperti ini, mugkin
pikiran tidak lagi stress.” Ketusku.
Kupejamkan mata untuk merasakan ketenangan dan
kenyamanan.
…
Beberapa jam kemudian …
“Non … Non … bangun, Mbok mau pamit pulang,” terdengar
sura yang membangunkanku.
Perlahan mata aku buka, agar bisa melihat siapa yang
membangunkanku ketika ketenangan dan kedamaian sudah terasa.
“Oh, si Mbok. Ada apa?” tanyaku kebingungan.
“Mbok mau pulang, Non. Apabila mau makan Mbok sudah
siapkan, dan kalau Non Zahra butuh apa silahkan hubungi saja nomor sudah
tersedia,” jawab Mbok Ranum.
“Iya, Mbok. Kenapa tidak menginap saja di sini? Ucapku
pada Mbok Ranum.
“Maaf, Non. Mbok harus mengurus anak di rumah, jadi
kalau menginap suka risau,” jawab Mbok Ranum.
“Terima kasih, Mbok. Besok ke sini lagi, kan?” ujarku
sembari bangun dari tempat tidur.
“Iya, Non. Kalau begitu Mbok pamit dulu,” ucap Mbok
Ranum sembari pergi.
“Hati-hati, Mbok.”
Aku beranjak pergi ke kamar mandi untuk memberesihkan
tubuh ini .
….
“Tidak sia-sia liburan di sini, udaranya segar serta
menenangkan jiwa.” Ketusku dalam hati.
Perut pun mulai keroncongan, aku pergi ke dapur untuk
menikmati makanan yang telah dimasak oleh Mbok Ranum.
“Makanan kesukaanku, … mmmm lezatnya.”
Tidak berapa lama tiba-tiba ada suara orang mengetuk
pintu.
“Tunggu sebentar.” Ucapku keras.
Aku pun beranjak pergi untuk melihat siapa yang bertamu
malam-malam. “Mungkinkah Mbok Ranum yang ketinggalan sesuatu atau orang lain?”
ketusku dalam hati.
Perlahan kubuka pintu, ternyata tidak ada siapa-siapa.
“Kok tidak ada orang?” ucapku penasaran.
Bulu kuduk mulai merinding, dan lampu Villa pun mati mendadak.
“Aduh, kok bisa mati begini, sih?” ucapku heran.
Suara-suara aneh pun mulai bermunculan, angin yang
entah darimana asalnya berhembus begitu kencang.
Terlihat ada sosok orang yang sedang berdiri di
halaman rumah sembari menggendong bayi.
“Siapa di sana?”
Ketakutan mulai melanda, aku pun berlari ke dalam
rumah mengambil senter atau hp yang bisa menerangi. Tiba-tiba hujan pun turun
disertai halilintar yang membuatku semakin ketakutan.
“Kret … krettt … krett.”
Terdengar suara ayunan kursi goyang peninggalan Nenek
yang sudah lama meninggal.
Pikiran dan hati ini pun tidak tenang, aku pun kembali
berlari ke luar rumah namun di depan pintu terdapat sosok anak kecil yang
memegang boneka menghadangku.
“Kak, ayo main, Kak,” ajak hantu anak kecil tersebut.
“Tolong … Tolong … Tolong ….”
Anak kecil itu semakin mendekat dan memegang tanganku.
“Jangan sakiti aku, maafkan bila kedatanganku tidak
membuat kalian nyaman.”
Aku terus merajuk memohon maaf karena telah mengganggu
mereka.
Anak kecil tersebut menjambak rambutku dan membawaku
ke luar rumah.
“Sakit, tolong … tolong … tolong ….”
Teriakanku yang begitu keras tidak ada yang mendengar.
Tiba-tiba, ada suara yang memanggil-manggil namaku.
“Non … Non, bangun sudah sore.”
Suara tersebut semakin jelas, perlahan mata ini kubuka
dan ternyata Mbok Ranum yang memanggilku.
“Oiya, Mbok ada apa?” tanyaku pada si Mbok, seolah
bingung dengan mimpi yang terjadi tadi.
“Mbok mau pulang, semua makanan dan air hangat telah
Mbok sediakan,” jawab Mbok Ranum.
“Baik, Mbok. Terima kasih,” ucapku
“Sama-sama, Non.”
Mbok Ranum pun pergi, aku mulai bingung dengan mimpi
tadi seakan semuanya nyata.
…..
Malam semakin larut, setelah selesai semuanya aku
beranjak ke lantai atas untuk mengerjakan tugas kantor. Kubuka laptop dan mulai
mengerjakan tugas kantor yang menumpuk dan membuat stress.
Beberapa jam kemudian, hp berbunyi.
“Halo, selamat malam! Ini sama siapa?” tanyaku pada
penelepon yang di sebrang sana.
Tidak ada suara balasan yang kuterima, hanya angin
saja.
“Jangan bercanda ya, Rio. Kita kan suudah putus.”
Ucapku berusaha menebak.
Tetapi tidak ada jawabannya, aku pun membuang hp
tersebut dan lampu mati seperti yang di mimpi.
“Apakah ini mimpi?” ketusku dalam hati, sembari
mencubit tangan. “Ini bukan mimpi.”
Aku pun berlari ke tangga sembari membawa senter,
sesampainya di bawah tangga kaki tidak bisa lagi bergerak.
Sosok wanita muda menggusurku ke luar, dia menarik
rambut tanpa kenal ampun.
“Tolong … tolong … tolong ….”
Wanita tersebut terus membawaku, mengarah ke sebuah
kolam yang begitu luas. Aku pun dimasukan ke dalam kolam tersebut, dan kepalaku
pun ditenggelamkan.
“To-lo-ng.”
Aku pun tidak bisa lagi bernafas, mata pun terasa
berat dan serasa terbawa ke suatu tempat yang gelap.
…
Mata pun perlahan-lahan kubuka, terlihat jelas warna
putih.
“Apakah ini di surga?” tanya hatiku.
Aku tengok, ternyata ada infusan yang tergantung di
sebelahku.
“Zahra, ternyata kamu sudah bangun, Nak.” Tanya
seseorang.
Aku pun melihat kea rah suara itu berasal, ternyata
Mamah yang telah beridiri di sampingku.
“Kenapa denganku, Mah?” tanyaku penasaran.
“Kamu koma selama dua minggu, Zahra. Putus asa karena
gagal menikah dengan Rio, hingga meminum obat sembari menenggelamkan diri di
kolam renang,” jawab Mamah.
Aku pun mulai bingung dan aneh dengan kejadian ini.
Dokter pun datang untuk memeriksaku, dan katanya boleh
pulang beberapa hari lagi. Karena sudah dikatan sehat.
…
Mamah pun pergi keluar, sementara aku sendiri
terbaring sembari memejamkan mata.
Terdengar suara langkah kaki yang mendekati, aku pun
membuka mata dan menoleh. Ternyata anak kecil yang ada di mimpi tersebut
mengajakku main.
“Kak, ayo main,” ajaknya.
“Tidak, cepat pergi! Aku tidak ingin bermain
denganmu,” teriakku pada anak kecil tersebut.
“Kak, ayo sini main, jangan tidur mulu, kak,”
“Tolong … tolong … tolong ….” Aku terus berteriak
meminta tolong.
Anak kecil itu pun menjambak rambut dan menyeret
tubuhku di lantai. Dia pun tidak mengenal ampun walau aku menjerit dengan
keras.
“Non … Non … Non, bangun Non.” teriak seseorang
memanggilku.
Perlahan kubuka mata dan terlihat Bibi Rini di
sampingku. Mukanya pucat dan terlihat panik.
“Aku kenapa, Bi?” tanyaku pada Bi Rini.
“Non Zahra pingsan karena membaca surat tadi.” Jawab
Bi Rini.
Ternyata kejadian yang dialami adalah mati suri dan
itu membuatku takut akan terulang lagi untuk kedua kalinya.
Cianjur, 19 Januari 2017
ceritanya menginspirasi sekali
BalasHapusTerima Kasih
HapusStrange "water hack" burns 2lbs overnight
BalasHapusMore than 160000 women and men are trying a easy and secret "liquid hack" to lose 1-2lbs every night in their sleep.
It's proven and it works on everybody.
This is how you can do it yourself:
1) Hold a clear glass and fill it half glass
2) Then learn this amazing HACK
and be 1-2lbs skinnier the very next day!