Jumat, 25 September 2015

Pengantin Kembang Kamboja



Pengantin Kembang Kamboja

Kamboja adalah gadis desa yang kecantikannya melebihi gadis pada umumnya. Dia dilahirkan dari keluarga yang pas-pasan, bahkan untuk makan saja keluarga kamboja hanya satu kali dalam sehari saja sudah senang.
Kampung Dukuh, ialah kampung yang letaknya jauh dari kota, tempat Kamboja tinggal dan di besarkan. Semua penduduk di Kampung  Dukuh  berprofesi sebagai buruh serabutan, Uyid adalah Ayah Kamboja yang sehari-hari berprofesi sebagai buruh pemecah batu, yang penghasilannya tidak menentu tergantung jumlah pecahan batu yang dapat dia kumpulkan setiap harinya. Bahkan Ibu Kamboja, Munarsih berprofesi sebagai tukang sapu kuburan dan mengumpulkan kembang kamboja untuk dia jual sebagai penyambung hidup dan biaya Kamboja sekolah. Meskipun hidup keluarga Kamboja pas-pasan namun mereka tidak mau merepotkan orang lain hanya untuk sesuap nasi saja.
Kamboja duduk di kelas 2 SMP Kencana, jarak rumah ke sekolahnya 3 Km. Setiap hari Kamboja berjalan kaki bersama sahabatnya Riri, mereka selalu bersama menyusuri  sawah, sungai untuk pergi ke sekolah.
Pagi itu Kamboja berjalan sendirian, sahabatnya Riri tidak terlihat di pertigaan jalan.
Riri kemana yah? Kok jam segini belum kelihatan?. Gumam Kamboja dalam hati.
Kamboja meneruskan langkah kakinya menuju tempat dia sekolah, tanpa di temani sahabatnya Riri.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara sayup-sayup yang memanggil dirinya.
“Kamboja ... kamboja ...,” terdengar suara teriakan yang memanggil.
Kamboja membalikan badannya untuk melihat siapa yang memanggil-manggil namanya tersebut.
“Ternyata kamu, Ri,” teriak Kamboja pada Riri sahabatnya.
Riri berlari menghampiri Kamboja yang sedang berhenti karena menunggu sahabatnya.
“Kenapa kamu tinggalkan aku?” tanya Riri yang ngos-ngosan karena berlari.
“Aku kira kamu tidak akan masuk sekolah hari ini, Ri,” jawab Kamboja.
“Emang aku suka bolos yah? Aku tadi mencari-cari buku dulu,” ucap Riri.
“Maaf ... ya sudah, kamu minum dulu ni,” ujar Kamboja menyodorkan botol minum pada Riri.
“Aku bawa kok, oh yah! Tugas yang di berikan Pak Yasir sudah selesai belum?” tanya Riri.
“Sudah dong, kalau kamu sudah di kerjakan belum? Jangan bilang kamu belum ngerjain tugas,” tanya Kamboja.
Tiba-tiba wajah Riri memerah karena malu tugasnya tidak dia kerjakan.
“Belum aku kerjakan, soalnya kemarin aku bantu ibu berjualan,” ucap Riri sambil menundukan kepalanya karena malu.
“Kan malamnya bisa kamu kerjakan, Ri?” tanya Kamboja.
“Aku nyontek yah sama kamu? Sekali ini saja,” pinta Riri.
“Tidak, kamu kebiasaan menyontek mulu,” ucap Kamboja.
“Ya deh! Aku janji cuman kali ini saja,” ujar Riri.
“Nanti saja di sekolah, sekarang keburu berl berbunyi ...,” teriak Kamboja.

Kamboja dan Riri berlari, supaya tidak terlambat tiba di sekolah.
Setelah berlari sekuat tenaga akhirnya mereka tiba di sekolah.
“Haduh Ri, cape banget nih,” ucap Kamboja.
“Ya, aku juga cape,” ujar Riri.
Mereka berdua berjalan di koridor sekolah, menuju kelas yang di tuju. Mereka berdua masuk ke dalam kelas VIII-b, kelas tempat mereka belajar.

Terdengar suara bell tanda masuk bebrbunyi, semua siswa-siswi berhamburan menuju kelasnya masing-masing.Pelajaran di mulai, Kamboja dan semua teman-temannya mengikuti pelajaran tanpa absen.
Pak Yasir, guru matematika sudah memasuki kelas, semua murid begitu cemas dan tegang. Karena, pekerjaan rumah yang di berikan tidak di kerjakan.
“Selamat pagi anak-anak ...!” sapa Pak Yasir.
“Selamat pagi Pak,” jawab semua murid di dalam kelas tersebut.
“Kumpulkan tugas yang bapak berikan,” ucap Pak Yasir.
Murid-murid maju ke depan kelas mengumpulkan tugas yang di berikan Pak Yasir. Ada sebagian yang tidak mengerjakan tugas.
“Yang tidak mengumpulkan tugas nilainya akan bapak kurangi,” ujar Pak Yasir.
“Ahhhhh ....” teriak murid-murid.

Waktu berjalan begitu cepat, bell tanda pulang pun sudah berbunyi. Siswa-siswi berhamburan meninggalkan ruangan kelas.
“Kamboja ... aku duluan yah? Nanti aku tunggu di depan gerbang, kamu jangan lama-lama,” teriak Riri.
Kamboja membereskan buku-bukunya dan memasukannya ke dalam tas. Selepas memasukan semua buku dia pun meninggalkan kelas dan berjalan menyusuri koridor sekolah.
Di tengah-tengah koridor dia bertabrakan dengan seorang lelaki.
“Ma-Maaf!” ucap Kamboja.
Dia membantu lelaki itu membereskan buku-bukunya yang berserakan.
“Tidak apa-apa, aku yang salah kok,” ujar lelaki itu, sambil membetulkan kacamatanya.
“Aku baru lihat kamu? Pasti murid baru yah?” tanya Kamboja.
“Bukan kok! Kenalin aku Sam,” jawab lelaki sambil mengulurkan tangannya.
“Aku kamboja, salam kenal Sam,” ucap Kamboja membalas uluran tangannya.
“Kamboja, tinggal dimana?” tanya Sam kikuk.
“Kampung Dukuh, kalau kamu?” jawab Kamboja, balik menanya.
“Dekat dong! Aku di Kampung Durian,” ucap Sam.
“Ouh,”
“Kamu pulang dengan siapa?” tanya Sam.
“Sama temanku,” jawab Kamboja.
“Boleh bareng gak, biar bisa kenal!” ujar sam.
“Boleh Kok.” 

Waktu terus berlalu, masa-masa SMP telah mereka lewati dengan penuh kebahagiaan.
Kamboja, Sam dan Riri, mereka bertiga tak terpisahkan. Saling menolong satu sama lainnya, seperti keluarga baru bagi Kamboja.
Kini mereka sudah kelas 3 SMA sebentar lagi memasuki Ujian Nasional. Waktu bermain danm bersenang-senang mereka bertiga pakai untuk belajar bersama. Supaya bisa mendapatkan nilai yang sangat memuaskan.
“Kamboja ... tunggu,” terdengar suara teriakan seorang lelaki.
Kamboja menengok ke belakang suara tersebut.
“Ya ada apa?” sahut Kamboja.
“Sam ... Sam,” ucap lelaki tersebut.
“Ada apa dengan Sam?” tanya Kamboja cemas.
“Sam, telah meninggal dunia, semalam rumahnya ke rampokan,” jawabnya.
“Tidak mungkin, Sammmmmmmm ...,” teriak Kamboja.
Air mata mengalir deras tak tertahankan lagi, perasaan Kamboja saat itu hancur. Teman yang dulu selalu bersama kini pergi begitu saja meninggalkannya.
Kenapa kau tega Sam? Kenapa? Padahal aku mulai menyukaimu, hari ini hatiku hancur bagaikan di hancur leburkan di dalam timah cair yang di panaska. Ketus Kamboja dalam hatinya.
Kamboja menangis kepergian lelaki yang dia cintai, kini semua perasaannya hancur begitu saja hanya dengan sekejap. Riri menghampiri Kamboja dan menghiburnya agar tidak terlarut dalam kesedihan.

Kepergian Sam sudah satu tahun lamanya, Kamboja masih teringat dengan kenangan-kenangan yang pernah di lakukannya bersama Sam, teman yang pertama dia kenal di SMP.
Sam, kini engkau genap satu tahun pergi dari sisiku. Rasanya baru kemarin kita berbicara dan bercanda gurau bersama, sambil mengerjakan tugas yang di berikan oleh sekolah kepada kita. Kenangan itu tidak pernah aku lupakan dalam ingatanku, tidak akan semudah membalikan telapak tangan untuk melupakan kenangan manis saat kita bersama. Aku tahu kau sangat mencintaiku, tapi kau malu untuk mengungkapkan semuanya. Takut aku menolak semua kata-kata cinta yang aku ucapkan Sam! Padahal aku selalu menunggu dan terus menunggu kata “Cinta” yang sering orang bilang. Aku ingin merasakan indahnya kata cinta, aku ingin merasakan bersama orang yang mencintaiku. Tapi, kini tinggal semua mimpi manis yang sulit di lupakan, sulit untuk di hapus. Sam, engkaulah lelaki  pertama yang mengisi hari-hariku. Semoga kau tenang di alam sana, aku sangat merindukanmu.
Kamboja mencurahkan segala kenangannya dalam buku diarynya. Meskipun Kamboja orang tidak punya namun dia beruntung bisa melanjutkan sekolah. Walaupun hanya kelas terbuka yang kadang dosen-dosennya jarang hadir dan perkuliahan sering libur.
Kamboja membuka sebuah warung kecil-kecilan, untuk membiayai keperluannya dan adik-adiknya. Bahkan, dia membuaka tempat pembuatan baju, dengan keahlian yang dia pelajari di sekolah akhirnya dia berhasil membuat usahanya berkembang.
Riri sahabatnya Kamboja iri dengan kesuksesan temannya. Dia berusaha menjatuhkan sahabatnya itu agar usaha yang Kamboja rintis bangkrut. Riri pun mendatangi setiap dukun agar bisa menjatuhkan usahanya Kamboja. Namun, bukannya usaha Kamboja hancur malah usaha yang dia buat sendiri malah bangkrut.
Kamboja dengan usahanya yang hari demi hari terus meningkat dengan sangat cepat, labanya setiap bulan terus bertambah karena, permintaan pasar yang banyak. Untuk itu Kamboja berusaha membuat sebuah inovasi baru agar para pembeli tidak bosan.
Kamboja terbilang wanita yang sukses di kampungnya. Namun, setelah kepergian Sam, orang yang pernah dia cintai waktu SMA dulu belum ada yang bisa menggantikan sosoknya sampai saat ini.

“Boja, kenapa kamu belum berumah tangga? Ambu dan Abah sudah tua, kami ingin melihat kamu bahagia,” tanya Ambu Kamboja, berharap agar anak perempuannya segera menikah.
“Boja belum menemukan lelaki yang cocok, Ambu, jadi bersabarlah dulu sampai lelaki yang di impikan bisa datang,” jawab Kamboja sambil merenungi perkataan Ambunya.
“Bukan begitu, teman-teman sepermainanmu sudah banyak yang mempunyai anak, kamu kapan? Ambu sudah tidak sabar ingin menimang seorang cucu,” tanya Ambu, mengeluarkan bulir-bulir air mata.
“Ambu ... maafkan Kamboja! Kamboja tidak ingin Ambu kecewa, karena itu Kamboja siap menerima lelaki yang mau menikah dengan Kamboja. Namun, ada satu syarat untuk lelaki yang ingin menikah,” ujar Kamboja.
“Apa syaratnya?” tanya Ambu penasaran.
“Lelaki itu harus Kamboja kenal minimal tiga bulan untuk berpacaran dan mengenal lebih dekat lagi,” sahut kamboja dengan tegas.
“Baik, Ambu akan ingat semua ucapan kamu,” ujar Ambu.
Ambu meninggalkan kamboja sendirian, dalam hatinya tidak tega menyuruh anaknya yang dia sayangi cepat-cepat menikah.
Namun, kalau Kamboja tidak menikah pasti tetangganya akan mengejek dan menghina kamboja.
Suatu ketika ...
Kamboja diperkenalkan kepada seorang pemuda yang ganteng dan baik.
“Kamboja ... ini nak Marwan, dia pemuda dari kampung sebrang,” ucap Ambu.
Kamboja merasa kikuk karena melihat pemuda yang ganteng. Dia menjadi salah tingkah, detak jantungnya tidak terkendali,  darah mengalir begitu cepat.
Oh ... Tuhan! Apakah dia jodohku. Ucap  Kamboja dalam hatinya.
“Hallo ...!” sapa Marwan dengan senyuman yang begitu dingin.
“iy-ya,” jawab Kamboja gugup.
“Kenapa bengong? Nanti kesambet loh,” tanya Marwan.
“Tidak apa-apa,” jawab Kamboja.
Marwan dan Kamboja saling menatap penuh dengan bunga-bunga cinta yang mulai mekar dalam hati keduanya saat awal bertemu.
***
Kamboja dan Marwan akan segera melaksanakan pernikahan sesuai yang mereka harapkan.
Perasaan orang tua Kamboja begitu senang ketika, melihat anaknya melepas masa kesendiriannya dengan orang yang mereka pilih.
Persiapan untuk pernikahan sudah selesai, hari pernikahan pun  tinggal beberapa hari lagi. Kamboja menjadi cemas dan gelisah, takut pernikahannya gagal.
Hari yang di tunggu-tunggu sudah tiba, Kamboja di dandani begitu cantik dan ayu.
“Boja, Ambu bangga kamu bisa menikah,” ucap Ambu.
“Tapi ... Kamboja takut kalau pernikahannya gagal dan Kamboja akan malu,” ujar Kamboja.
“Tidak akan gagal, kamu harus percaya diri, Kamboja.” Ambu membujuk Kamboja.
Tidak lama kemudian Abah masuk dengan tergopoh-gopoh.
“Ada apa, Bah?” tanya Kamboja cemas.
“Anu,” jawab Abah, terlihat ragu dan takut.
“Anu siapa? Jawab, Bah,” teriak Kamboja.
“Marwan,” Abah menjadi takut dan gugup.
“Kenapa dengan, Marwan?” tanya Kamboja.
Ambu pun terlihat cemas melihat suaminya yang gelisah dan takut.
“Marwan, calon suami kamu kabur dengan gadis lain dari kampung sebelah,” jawab Abah.

Bulir-bulir air mata mengalir membasahi seluruh make up yang Kamboja kenakan. Dia begitu terpuruk dengan kejadian ini.
“Kenapa ... kenapa jadi begini? Ambu ... Kamboja malu,” ucap Kamboja, air matanya tidak berhenti mengalir dari kedua matanya.
“Sabar ... Boja,” Ambu berusaha menenangkan Kamboja.
Aku harus mencari calon suamiku Marwan, walau nyawaku jadi taruhannya akan aku lakukan.
“Abah, siapa gadis yang bersama dengan Marwan?” tanya Kamboja pada Abah.
“Ningrum ... dia gadis dari kampung sebrang,” jawab Abah.

Kamboja berlari meninggalkan Abah dan Ambu, untuk mencari calon suaminya Marwan.
Dia bahkan tidak menhiraukan teriakan dari kedua orang tuanya itu, yang dia pikirkan hanya Marwan.
Langkah kakinya terus menyusuri lebatnya hutan yang begitu luas, Kamboja hanya menggunakan baju yang dia kenakan untuk pernikahannya nanti bersama Marwan, pria yang dia idamkan selama ini.
Hari demi hari telah dia lewati, pakaian yang bersih dan indah kini lusuh dan begitu kotor. Wajah yang begitu cantik penuh dengan tanah, rambutnya pun tidak beraturan lagi.
Kamboja tidak menghiraukan pakaian yang melekat di tubuhnya itu, dia hanya ingin bertemu calon suaminya.
Kakinya tidak lelah menelusuri sakitnya penderitaan yang telah dialaminya. Bahkan cemoohan dari orang-orang sekitar ketika melintas ke kampung tidak dihiraukannya.
Lemparan batu, tanah dan benda-benda lainnya oleh orang-orang yang berpapasan dengan dia.
“Orang gila ... orang gila,” teriak orang-orang pada Kamboja.
Kata-kata itu selalu terngiang di telinga Kamboja, dan dia tidak terima hujatan dan cemoohan yang orang-orang lontarkan kepadanya. Namun, apa mau dikata hatinya terlanjur sakit oleh penderitaan yang di alaminya Kamboja membiarkannya begitu saja.
Tuhan ... kapan penderitaanku berakhir? Aku tidak sanggup lagi, Tuhan. Kamboja terus berharap dalam hatinya agar semua penderitaannya cepat berlalu.
***
Sudah 2 bulan kamboja mencari Marwan, namun tidak bertemu.
Dia meneruskan perjalanannya menyusuri hutan dan dia melihat ada sebuah goa. Kakinya melangkah dan memasuki goa tersebut.
Kamboja beristirahat melepas lelah dan kesedihannya, matanya mulai terasa berat perlahan-lahan tertutup.
Bau kembang kamboja tercium oleh Kamboja di dalam goa tersebut dia bangun dan melihat lebih dalam lagi.

Bersambung......


2 komentar:

  1. istilah ambu dan abah, aku suka
    Ambu panggilan ibu untuk daerah mana bang Dani?

    BalasHapus
  2. Ambu dan Abah itu aku pakai bahasa Sunda.

    Hehee

    BalasHapus